Hari Bumi: Aktivisme Seumur Jagung
Pic from here. |
Hari Bumi memang sudah lewat, tapi bumi tidak perlu perayaan
untuk dikenang. Kalau jalan-jalan nengok sejarah, peringatan hari bumi masih
seumur jagung, belum menyentuh bilangan abad. Jauh lebih juvenil
dibandingkan gerakan vertikal-horizontal yang berumur lebih tua dengan
pengikut lebih besar, padahal bumi sudah menginjak usia 4,5 milyar
tahun. Iya, ada kata milyar diantara angka dan huruf. Bumi kita memang sudah sangaaaat lanjut usia.
Hari bumi dilahirkan karena manusia gelisah atas 'kediamannya'. Berkat tumpahan minyak, kontaminasi pestisida, serta buruknya kualitas udara yang terakumulasi berlebihan, manusia jadi sadar betapa bumi sedang tidak sehat dan (bisa jadi) berumur tak lama lagi. Sejak saat itu, narasi tentang isu lingkungan dan upaya penyelamatan bumi langsung naik daun. Selama 5 dekade, followersnya meningkat tajam hingga tembus 1 milyar. Cristiano Ronaldo geleng-geleng kepala karena ketinggalan jauh.
Kalau bumi bisa bicara lantas masuk televisi, ia pasti akan menuntut hak-haknya yang direnggut manusia. Coba bayangkan, mulai dari zaman Mbah Pithecanthropus erectus, sampai manusia modern yang hampir melampaui era 4.0, sudah berapa banyak sumber daya bumi yang terampas dan ternodai tangan manusia? Meja pengadilan akan penuh sesak karena tiap manusia adalah terdakwa, selangkah menuju tersangka perusakan bumi.
Untungnya, bumi tidak bisa bicara. Tidak akan menyeret kita ke penjara. Namun demikian, bumi punya cara komunikasi yang berbeda.
Bumi memberi semacam peringatan kepada manusia lewat gejala yang kita sebut bencana. Gempa bumi, tsunami, kekeringan, hujan meteor, badai, dan teman-temannya serupa The Avengers bagi bumi (yang disisi lain kita anggap sebagai Thanos, musuh tak terkalahkan dengan kekuatan luar biasa).
Dari pernyataan di atas kita jadi tahu, fenomena yang ada sejak zaman pra-sejarah sampai manusia terancam eksistensinya oleh mesin adalah cara bumi mencintai kita. Mungkin kalau disuarakan narasinya begini, “Halo manusia, aku sudah mencapai batas limit. Kalau kamu tidak segera berbenah, generasimu bisa punah.”
Coba bayangkan. Kalau ujug-ujug bumi marah lantas tiba-tiba kita dimusnahkan dadakan seperti cerita dinosaurus yang lenyap akibat hujan meteor. Ngeri nggak sih? Belum sempat taubatan nasuha, eh tiba-tiba Izrail sudah di depan mata.
Tidak perlu jadi aktivis yang berbaris di jalan raya sambil bawa-bawa spanduk untuk memulai perubahan. Cukup lakukan hal-hal sederhana sesimpel memasukan pertanyaan, "Hal ini baik tidak untuk bumi?" tiap akan mengambil tindakan. Kalau tujuh milyar manusia melakukan hal sekecil itu secara bersamaan, niscaya terwujudnya bumi lestari bukan cuma komoditas SDG's. Ups.
Hari bumi dilahirkan karena manusia gelisah atas 'kediamannya'. Berkat tumpahan minyak, kontaminasi pestisida, serta buruknya kualitas udara yang terakumulasi berlebihan, manusia jadi sadar betapa bumi sedang tidak sehat dan (bisa jadi) berumur tak lama lagi. Sejak saat itu, narasi tentang isu lingkungan dan upaya penyelamatan bumi langsung naik daun. Selama 5 dekade, followersnya meningkat tajam hingga tembus 1 milyar. Cristiano Ronaldo geleng-geleng kepala karena ketinggalan jauh.
Kalau bumi bisa bicara lantas masuk televisi, ia pasti akan menuntut hak-haknya yang direnggut manusia. Coba bayangkan, mulai dari zaman Mbah Pithecanthropus erectus, sampai manusia modern yang hampir melampaui era 4.0, sudah berapa banyak sumber daya bumi yang terampas dan ternodai tangan manusia? Meja pengadilan akan penuh sesak karena tiap manusia adalah terdakwa, selangkah menuju tersangka perusakan bumi.
Untungnya, bumi tidak bisa bicara. Tidak akan menyeret kita ke penjara. Namun demikian, bumi punya cara komunikasi yang berbeda.
Bumi memberi semacam peringatan kepada manusia lewat gejala yang kita sebut bencana. Gempa bumi, tsunami, kekeringan, hujan meteor, badai, dan teman-temannya serupa The Avengers bagi bumi (yang disisi lain kita anggap sebagai Thanos, musuh tak terkalahkan dengan kekuatan luar biasa).
Dari pernyataan di atas kita jadi tahu, fenomena yang ada sejak zaman pra-sejarah sampai manusia terancam eksistensinya oleh mesin adalah cara bumi mencintai kita. Mungkin kalau disuarakan narasinya begini, “Halo manusia, aku sudah mencapai batas limit. Kalau kamu tidak segera berbenah, generasimu bisa punah.”
Coba bayangkan. Kalau ujug-ujug bumi marah lantas tiba-tiba kita dimusnahkan dadakan seperti cerita dinosaurus yang lenyap akibat hujan meteor. Ngeri nggak sih? Belum sempat taubatan nasuha, eh tiba-tiba Izrail sudah di depan mata.
Tidak perlu jadi aktivis yang berbaris di jalan raya sambil bawa-bawa spanduk untuk memulai perubahan. Cukup lakukan hal-hal sederhana sesimpel memasukan pertanyaan, "Hal ini baik tidak untuk bumi?" tiap akan mengambil tindakan. Kalau tujuh milyar manusia melakukan hal sekecil itu secara bersamaan, niscaya terwujudnya bumi lestari bukan cuma komoditas SDG's. Ups.
Comments
Post a Comment